Iding Soemita disebut-sebut sebagai pimpinan politik pertama bagi suku Jawa di Suriname, meskipun ia sendiri adalah orang Sunda. Ia melakukan penggunaan strategis atas posisi penengah di mana partainya masuk setiap pemerintahan koalisi. [1]
“Ini temuan baru kami, bahwa tidak hanya orang Jawa yang dikirim ke Suriname, tetapi dari Tasikmalaya juga mencapai ratusan orang,” Rabu (11/9/2013). [2]
Menurut Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat STAI Tasikmalaya ini, tujuan pengiriman warga Tasik saat itu karena daerah Kolonial Belanda di Suriname sama halnya dengan Tasikmalaya sebagai daerah Perkebunan dan Pertambangan. Namun, terjadi pembebesan perbudakan pada tahun tersebut, sehingga budak-budak kulit hitam Suriname tidak ada lagi yang mau bekerja.
Menteri Pertanian Pertama
Iding Soemita beremigrasi pada usia 17 tahun ke Suriname, dan tiba di Mariënburg sebagai buruh kontrak pada tanggal 25 Oktober 1925. Beliau naik menjadi perawat laki-laki dan setelah itu membuka toko di Paramaribo.
Menurut Direktur Soekapoera Institute (SI), Muhajir Salam, sebagaimana hasil penelitiannya melalui dokumen Tasikmalaya Nasional Belanda bahwa ada 184 orang warga Tasikmalaya yang dikirim ke Suriname dalam medio abad ke-19. Ratusan warga Tasikmalaya dikirim secara berangsur dari tahun 1897 hingga 1939.
“Ini temuan baru kami, bahwa tidak hanya orang Jawa yang dikirim ke Suriname, tetapi dari Tasikmalaya juga mencapai ratusan orang,” Rabu (11/9/2013). [2]
Menurut Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat STAI Tasikmalaya ini, tujuan pengiriman warga Tasik saat itu karena daerah Kolonial Belanda di Suriname sama halnya dengan Tasikmalaya sebagai daerah Perkebunan dan Pertambangan. Namun, terjadi pembebesan perbudakan pada tahun tersebut, sehingga budak-budak kulit hitam Suriname tidak ada lagi yang mau bekerja.
“Nah, makanya Pemerintah Kolonial mengirim warga Indonesia yang salah satunya dari Tasikmalaya, karena Suriname juga sumber ekonomi pemerintahan Belanda” ujarnya.
Untuk melegalisasi pengiriman warga Tasikmalaya itu pun, Pemerintah Kolonial menerapkan konsep transmigrasi seperti yang ditiru Pemerintah Indonesia sekarang. Mereka ditempatkan di wilayah perkebunan dan pertambangan yang kebanyakan di isi orang Jawa Tengah, Jawa Timur dan sedikit Sunda. “Totalnya mencapai 32.939 orang, dan 184 orangnya warga Tasikmalaya dengan kategori laki-laki 114 orang dan perempuan 70 orang,” ucap dia.
Lalu, dari Tasikmalaya mana mereka berasal?
Muhajir pun menunjukkan catatan yang disadur dari Buku “De Innemende Leider Ban Javanese In Suriname” karya Profesor Dr. Chandersen Eugene Sena Choer, bahwa 184 warga Tasikmalaya itu berasal berbagai daerah seperti distrik Tasik, Singaparna, Ciawi, Taraju, Karangnunggal, Indihiang, Cikatomas, Rancah, Pangandaran, Banjar dan Kawali. “Kan dulu mah, Ciamis, Banjar teh masuk Keresidenan Tasikmalaya,” ujar dia. [2]
Muhajir pun menunjukkan catatan yang disadur dari Buku “De Innemende Leider Ban Javanese In Suriname” karya Profesor Dr. Chandersen Eugene Sena Choer, bahwa 184 warga Tasikmalaya itu berasal berbagai daerah seperti distrik Tasik, Singaparna, Ciawi, Taraju, Karangnunggal, Indihiang, Cikatomas, Rancah, Pangandaran, Banjar dan Kawali. “Kan dulu mah, Ciamis, Banjar teh masuk Keresidenan Tasikmalaya,” ujar dia. [2]
Ada prestasi yang sangat membanggakan dari warga yang dikirim ke Suriname itu karena Menteri Pertanian pertama Negara Suriname adalah orang Tasikmalaya. Beliau, bernama Iding Soeminta asal Desa Bengkok Distrik Cikatomas (sekarang wilayah Salopa-red).
Iding Soemita, menurut Muhajir, menjadi simbol pemersatu orang Jawa yang menyuarakan kesadaran pentingnya persatuan. “Istilahnya Iding ini sebagai penggerak perjuangan hak-hak buruh tani Suriname,” unjarnya. Meski sama halnya sebagai buruh kuli di negara yang berdekatan dengan Amerika Serikat itu, Iding mendirikan Organisasi Persatuan Indonesia tahun 1946, lalu diubah tahun 1949 dengan nama Kaum Tani Persatuan Indonesia (KTPI).
Pada tahun 1946, Iding Soemita menjadi salah satu pendiri Persatuan Indonesia. Bagi orang-orang yang sudah melepaskan haknya atas perjalanan pulang gerakan itu menghendaki agar pemerintah bayar perjalanan pulang ke Jawa itu juga. Pesan itu sangat populer
Pada tahun 1949 Persatuan Indonesia beralih menjadi KTPI (Kaum Tani Persatuan Indonesia). KTPI ini lalu berubah menjadi Partai
Suatu perebutan kekuasaan yang sengit pecah antara KTPI dan partai Jawa yang lain, PBIS. Persatuan Indonesia/KTPI memperingatkan nilai-nilai Tradisional leluhur dan kerinduan akan kampung halaman sedangkan PBIS yang lebih modern itu menuntut sumbangan aktif bagi perbaikan kedudukan Jawa di Suriname. Kebanyakan pengikut KTPI terdiri dari pendoa-pendoa yang mendoa ke arah barat dan yang sebagai muslimin juga tetap menghormati tata cara yang bukan-islam sebagai sajen dan slametan. Soemita dan KTPI secara jelas menang perebutan kekuasaan ini.
Pada pemilihan untuk parlemen pertama (pemilu dengan hak pilih terbuka), menurut hak pilih umum pada tahun 1949 di distrik Commewijne Soemita sebagai kandidat mendapat 20.325 suara. Dari jumlah total 21 kursi di parlemen KTPI meraih 2 (dua) kursi di parlemen dan Iding Soemita mendapat satu kursi di antaranya.
“Dari Pemilu pertama Suriname inilah, warga Desa Bengkok Kecamatan Salopa (dulu Distrik Cikatomas) berhasil duduk di Pemerintahan dengan jabatan Menteri Pertanian,” kata Muhajir.
Sebagai perwakilan suku Jawa di Suriname, ia sering terlibat diskusi dengan Belanda demi otonomi untuk Suriname. Dia mempergunakan kedudukan tengah yang diduduki partainya dalam setiap koalisi pemerintah secara strategis.
Sejak di Pemerintahan itu juga, Iding Soeminta menjadi orang pertama yang mendirikan Masjid di Suriname. “Tapi anehnya tetap menghadap barat,” ucap Muhajir... :)
Selain itu, Iding juga dikenal sebagai sosok yang taat beragama dan piawai menerjemahkan Islam ke dalam Pergerakan. “Bahkan kenapa Iding jadi tokoh juga karena karakter religiusnya itu, sehingga Iding jadi panutan warga Indonesia di Suriname, dan sifat karakter religius itulah, sama halnya dengan karakteristik masyarakat Tasikmalaya yang dikenal dengan sebutan Kota Santri. Kemungkinan yang mempengaruhi karakteristik Iding dari H. Ismail, Ketua Sarikat Islam di Gunungtanjung. Apalagi secara geografis wilayah Bengkok dan Gunungtanjung berdekatan,”
Pada tahun 1960, ia mengundurkan diri dari politik. Kepemimpinan partai dialihkan ke anak laki-laki nya yang bernama Willy. [1]
Referensi :
[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Iding_Soemita
[2] http://www.kabar-priangan.com/news/detail/10623
No comments:
Post a Comment