Sunday 4 July 2010

Sejarah Anyaman Bambu Halus Tasikmalaya dan Perkembangannya

Tulisan ini adalah sebagian dari tulisan* yang sudah dimuat di Jurnal Dimensi, Seni Rupa dan Desain, Vol.7 No.1, September 2009. yang juga merupakan cuplikan dari tesis yang penulis buat saat menyelesaikan studi di Departemen Seni Rupa, FTP, ITB, Bandung, tahun 1973. (red. Penulis*)

Hasil penelitian mengungkapkan bahwa pencipta anyaman bambu halus di Tasikmalaya adalah seorang petani-perajin Martadinata (Haji Soheh) pada tahun 1890. Tahun 1901 Pemerintah Hindia Belanda, mengangkat Martadinata sebagai guru untuk menyebarkan jenis kerajinan tangan ini ke Jawa Tengah (Ngawi, Nganjuk) dan Sulawesi (Makassar). Penyebarannya di Tasikmalaya sendiri baru setelah tahun 1904, setelah pemerintah Hindia Belanda memberlakukan etische politiek.





Proyek bamboo processing, yang diselenggarakan pemerintah Kabupaten Tasikmalaya tahun 1962, untuk mengembangkan anyaman bambu halus, tidak berhasil karena kurangnya sosialisasi. Setelah mengalami pasang-surut, dewasa ini, anyaman bambu halus merupakan salah satu produk unggulan Tasikmalaya di samping produk bordir, batik, payung kertas, tikar mendong, kelom geulis dan topi pandan.

Tulisan ini memaparkan bagaimana asal mula timbulnya anyaman bambu halus di Tasikmalaya dan bagaimana perkembangan selanjutnya. Dimaksudkan: pertama, untuk melengkapi dokumen kerajinan tangan baik bagi pemerintah Kota Tasikmalaya maupun pemerintah Kabupaten Tasikmalaya. Kedua, agar masyarakat Tasikmalaya, khususnya para perajin, merasa bangga bahwa hasil kreasi urang Tasik telah menyebar ke berbagai daerah dan merupakan komoditi ekspor yang membanggakan. Diharapkan rasa bangga tersebut dapat membangkitkan daya kreatif para perajin. Ketiga, merupakan sumber data bagi mereka yang akan mengadakan penelitian kerajinan tangan Tasikmalaya, khususnya mereka yang tertarik untuk meneliti perkembangan anyaman bambu halus Tasikmalaya sejak awalnya.

Tinjauan Historis Perkembangann Anyaman Bambu Halus Tasikmalaya

Asal Mula Kerajinan Tangan Anyaman Bambu


Sejak kapan kerajinan tangan anyaman bambu tumbuh di Tasikmalaya, tidak ada yang tahu. Tapi dapat diperkirakan, ialah sejak orang hidup menetap dan bercocok tanam di wilayah Tasikmalaya. Mula-mula merupakan kegiatan yang berasal dari naluri untuk memiliki alat dan barang yang diperlukan untuk melangsungkan kehidupannya. Kegiatan membuat barang kerajinan tangan ini akan berhenti bilamana kebutuhan telah terpenuhi, lain halnya bilamana timbul “kegiatan perdagangan”. Karena barang berlebihan, atau adanya kebutuhan akan barang yang lain, atau adanya permintaan dari tempat lain, maka terjadilah barter atau penjualan. Hal ini menyebabkan produksi barang kerajinan tangan berjalan terus. Kegiatan ini akan lebih lancar bilamana jalan lalu lintas yang menghubungkan konsumen dengan produksi mudah. Kegiatan yang terus berlangsung, lama kelamaan menjadi kegiatan yang turun-temurun.

Kegiatan kerajinan tangan anyaman bambu (kasar dan setengah halus) , yang diwariskan secara turun temurun, tersebar luas di seluruh wilayah Tasilmalaya. Akan tetapi, sampai tahun 1900 sedikit selaki perhatian Pemerintah Hindia Belanga terhadap kegiatan kerajinan tangan yang banyak dilakukan penduduk Tasikmalaya itu. Terutama karena tidak terlihat kegunaannya bagi keuntungan Pemerintah Jajahan.

“Pada umumnya, usaha industry kecil-kecilan yang dilakukan oleh orang-orang pribumi, di samping mengolah tanah, hanya barang kebutuhan sehari-hari untuk keperluan setempat dan bersifat insidentil. Bagi orang Belanda, usaha seperti itu tidak perlu dikembangkan malah sering kali dirugikan karena mendapat saingan dari barang impor yang lebih baik dan lebih murah” (Oorschot, 1931:7) Saat itu, kegiatan yang oleh Pemerintah Hindia Belanda dikembangkan dipusatkan hanya pada hasil pertanian saja (tarum/nila, Pen) yang banyak diminta untuk barang ekspor.

Jaman Cultuur Stelsel (Tanam Paksa)

Van den Bosch
Penanaman pohon tarum diperintahkan oleh Gubernur Jenderal H.W. Daendels (1808-1811) kepada Bupati Sukapura (nama kabupaten sebelum diganti menjadi Tasikmalaya) agar sejumlah daerah pesawahan ditanami pohon tarum (Sastranegara, 1933:30). Lebih parah lagi, ketika diberlakukan sistem Cultuur stelsel (lebih dikenal dengan sebutan Tanam paksa) oleh Gubernur Jenderal Van den Bosch tahun 1830-1870. Hal ini dimaksudkan untuk mengisi kas pemerintah yang hampir bangkrut akibat perang Diponegoro yang melelahkan (1825-1830). Penduduk dipaksa menggunakan sebagian tanah garapannya untuk ditanami komoditi ekspor ke Eropa (kopi, tebu, nila) dan menyisihkan harikerjanya untuk pemerintah jajahan.

Bagi Pemerintah Hindia Belanda sistem Cultuur Stelsel ini berhasil luar biasa (Wikipedia, 2009). Tidak diperoleh data bagaimana dampakCultuur stelsel di Tasikmalaya. Tapi, di beberapa daerah di Pulau Jawa Cultuur stelsel menimbulkan kemiskinan dan bencana kelaparan, di Cirebon, Jawa Barat tahun 1843 dan di Jawa Tengah tahun 1850 (Wikipedia,2009). Setelah mendapat kritikan dan kecaman pedas dari kelompok etis, tahun 1870 Cultuur stelsel dihapus.

Dalem Bogor

Dengan dihapusnya Cultuur stelsel para petani mulai mengerjakan kerajinan tangan lagi. Sementara itu, Bupati Sukapura ke -11, R.T. Wiraadegdaha (Wiratanuwangsa, Dalem Bogor 1855–1875, disebut Dalem Bogor karena dicopot dan diasingkan oleh Pemerintah Hindia Belanda ke Bogor, lantaran menolak pajak bumi yang memberatkan rakyat), adalah seorang bupati yang aktif dan kreatif. Banyak jasanya dalam memajukan penduduk, memperbaiki adat istiadat yang dianggapnya kuno dan memajukan bidang kerajinan rakyat, seperti diceritakan Patih Rd. Sastranegara: “………. kajabi ti nelik karaharjaan nagara teh, oge ngadangdosan adat tata karma kuna, sareng teu kinten ngamajengkeunnana tina kabinangkitan.” (……. di samping mengabdi pada negara juga memperbaiki adat-istiadat kuno dan sangat memajukan kerajinan rakyat.”) (Sastranegara, 1933).

Terciptanya Anyaman Bambu Halus

Kerajinan tangan anyaman bambu mulai dikerjakan para petani lagi, terutama di sebelah barat laut kota Tasikmalaya, di kampung Parakanhonje desa Sukamaju, kecamatan Indihiang. Sesuai dengan nama desanya Sukamaju, di tempat inilah asal mula anyaman bambu halus diciptakan. Menurut Masna Tanudimadja – seorang sesepuh, tokoh masyarakat setempat dan penulis buku – pencipta jenis kerajinan tangan ini adalah Martadinata.

Kira-kira tahun 1890, seorang petani bernama Martadinata kehilangan dompetnya (tempat tembakau) yang dibuat dari kulit kanjut domba jalu (scrotum domba jantan). Hal ini menimbulkan dorongan untuk membuat gantinya. Dia mencoba membuat dompet dari anyaman bambu. Setelah beberapa kali dicobanya dia berhasil membuat dompet dari bahan bambu sekalipun masih kasar. Lambat laun anyaman bambunya diperhalus. Setelah berhasi membuat dompet, mulailah mencoba membuat barang lainnya, seperti kimpul dan dudukuy cetok (topi caping). Pada mulanya anyaman bambu halus ini hanya dikerjakan di lingkungan keluarganya saja.

Sementara itu, setelah beberapa kali berpindah tempat, pada pemerintahan Bupati R.T. Prawiraadiningrat (1901-1908) pada tahun 1901, pusat pemerintahan kabupaten Sukapura dari Manonjaya dipindahkan ke Tasikmalaya, akan tetapi sebutan kabupaten masih tetap Sukapura (Sastranegara, 1933).

Politik Etis

Akibat gencarnya kritikan dan kecaman pedas terhadap sistem Cultuur stelsel yang dilontarkan kelompok etis, akhirnya pemerintah Belanda, pada tahun 1901, mengeluarkan kebijaksanaan yang disebut Etische politiek atau Politik etis. Etische politiek merupakan “politik balas budi” yang menyatakan bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda (Wikipedia, 2009). Kebijaksanaan ini dikatakan sebagai

“Pemikiran-pemikiran untuk perkembangan kehidupan orang-orang pribumi……… Politik etis ini menghendaki supaya kebijaksanaan pemerintah disalurkan untuk perkembangan kemakmuran penduduk di bidang ekonomi, kebudayaan dan social” (Oorschot. 1931:16).

Sejalan dengan politik etis ini pemerintah Hindia Belanda nampak mulai ada perhatiannya pada kegiatan kerajinan tangan penduduk Tasikmalaya, hal ini terlihat dengan diketahuinya oleh pemerintah Hindia Belanda bahwa di Parakanhonje ada jenis anyaman bambu halus. Selanjutnya, Pemerintah Jajahan berusaha mengembangkan jenis kerajinan tangan ini, namun bukan untuk penduduk Tasikmalaya sendiri.

Nyatanya, tahun 1901 Martadinata diangkat menjadi guru kerajinan tangan di Ngawi, Jawa Timur dan tahun 1905 dipindahkan ke Nganjuk (Jawa Timur). Melihat keberhasilan Martadinata di kedua tempat tersebut, pada tahun 1907 pemerintah Hindia Belanda bermaksud mengirimkan Martadinata ke Makassar, Sulawesi, untuk mnjadi guru di sana. Akan tetapi Martadinata tidak bersedia dikirim ke luar Jawa dan dia telah mempunyai niatan untuk pergi naik haji. Sebagai gantinya dia menunjuk salah seorang muridnya yang pandai dari Nganjuk. Kembali dari Mekah namanya diganti menjadi Haji Soheh dan kembali mengajar di Nganjuk. Setelah beberapa lama di Nganjuk dia kembali ke tanah kelahirannya Parakanhonje. Haji Soheh kemudian menyebarkan pengetahuannya kepada penduduk sekampungnya tanpa tujuan komersil. Lama kelamaan jenis anyaman bambu halus ini meluas menjadi kerajinan penduduk Parakanhonje. Tahun 1919 Haji Soheh meninggal dunia.

Pemerintahan Bupati Wiratanuningrat

Campur tangan pemerintah Hindia Belanda dalam bidang kerajinan tangan di Tasikmalaya terlihat dengan diadakannya pelajaran kerajinan tangan di Sekolah Rendah. Dalam laporannya pada tahun 1904 Mr. J.H.Abendanon (salah seorang dari kelompok etis), Direktur Dept. c. V.O & E. en Nijverheid (Direktur Kebudayaan, Agama dan Kerajinan) di Batavia (Jakarta), yang mendapat tugas menyelidiki keadaan kerajinan rakyat, menyarankan agar di sekolah-sekolah diberikan pelajaran menggambar dan menganyam, sebagai salah satu usaha untuk mengembangkan kerajinan tangan (Adjat Sakri. 1969).

Kemudian muncul seorang pengusaha bernama M.S. Nataatmadja (Haji Abdullah Mansur), kuwu Parakanhonje yang besar jasanya terhadap perkembangan anyaman bambu halus. Dalam usaha dagangnya haji Mansur bekerjasama dengan pengusaha bangsa Belanda bernama Olivier, seorang pengusaha topi di Tangerang. Olivier mengekspor topi rangkay (topi yang belum jadi) dari Parakanhonje ke Eropa untuk diselesaikan, dicetak menjadi topi yang siap untuk dipakai. Usaha topi bambu ini mencapai puncak pasarannya antara tahun 1921-1927. Hal ini terjadi pada saat Sukapura diperintah bupati R.A.A.Wiratanuningrat (1908-1937). 
Bupati ini banyak jasanya dalam memajukan kerajinan rakyat. Dalam membina penduduk, tidak hanya membantu penduduk dalam bidang pertanian saja, akan tetapi juga bidang kerajinan rakyat. Membantu bermacam-macam koperasi dagang: batik, tenun dan anyaman. Di samping itu, didirikan pula suatu perkumpulan koperasi yang terkenal dengan nama Pakumpulan Duit Hadiah. (Sastranegara, 1933) Catatan penulis: Di kampung Cikendi desa Tanjungpura, kecamatan Rajapolah ada istilah ”olipir” sebagai sebutan untuk bahan jaksi kualitas terbaik untuk membuat topi

Tahun 1921 bupati mengadakan pameran anyaman bambu halus di Parakanhonje dalam rangka menyambut kunjungan Sunan Solo ke Tasikmalaya. Selanjutnya, sebagai anggota De Nijverheidscommissie van het Java Instituut bupati mengumpulkan data dan membuat laporan tentang kerajinan rakyat Tasikmalaya yang kemudian oleh Commissie tersebut dibukukan dengan judul De Inheemsche Nijverheid op Java, Madoera, Bali en Lombok, Deel II – Stuk I, Regentschap Tasikmalaja. Diterbitkan oleh Het Java Instituut, 1931. Pada masa malese antara tahun 1930-1935 usaha anyaman bambu halus di Parakanhonje menjadi mundur. Seteleh masa malese berakhir Olivier mengirimkan kumetirNatamadja (kakak H. Mansur) ke pameran internasional di Paris, Perancis (Tanudimadja. wawancara 1972).

Perajin anyaman Rajapolah th.1933 (De Inheemsche Nijverheid Reg.Tasikmalaya)


Sementara itu, usaha pemerintah Hindia Belanda untuk meningkatkan ekonomi rakyat, melalui kerajinan tangan, terus berlanjut. 

Dalam Laporan Kerajinan Tangan Tasikmalaya tahun 1929/1930 yang dibuat de Nijverheids-commissie van het Java- Instituut, dapat diketahui bahwa waktu itu di Tasikmalaya terdapat Sekolah Pertukangan (Ambachtschool) yang mempunyai jurusan kayu dan anyaman, dan di Sekolah Dasar diajarkan kerajinan tangan (de Nijverheids-commissie, 1933). Tahun 1929 Sekolah Guru (HIK dan Normaalschool) berhasil mendidik guru-guru kerajinan tangan untuk memberikan pelajaran kerajinan tangan di Sekolah Rendah (Adjat Sakri, 1969).

Sayang sekali, penulis tidak memperoleh data saat pendudukan Jepang dan pada masa revolusi. Tapi, waktu penelitian dilakukan, tahun 1973, Pemerintah Indonesia telah banyak perhatiannya terhadap perkembangan kerajinan tangan di Tasikmalaya. Pemerintah Daerah dan Jawatan Perindustrian Rakyat Propinsi Jawa Barat, Kabupaten Tasikmalaya, menyelenggarakan beberapa usaha untuk memajukan industri kerajinan tangan Tasikmalaya, terutama yang berhububgan dengan masalah kecakapan teknis, management, pemasaran, permodalan, bahan baku dan perkaderan (Jawatan Perindustrian Rakyat Kab.Tasikmalaya,1973).

Proyek Bamboo Processing

Sejalan dengan perkembangan jaman, kerajinan tangan Parakanhonje makin lama makin berkembang, menghasilkan berbagai jenis barang, desaian, bentuk dan ragam hias dan dikerjakan di beberapa tempat di wilayah Tasikmalaya. Hasil produksinya menyebar luas ke berbagai tempat tidak hanya di dalam negeri saja bahkan juga ke luar negeri. Hal ini menarik perhatian pemerintah daerah. Timbullah suatu pemikiran untuk memodernisir usaha kerajinan tangan ini dengan menggunakan alat mekanis. Gagasan ini kemudian diajukan kepada PNPR LEPPIN KAYA YASA Inspektorat Bandung pada tahun 1958. Maka jadilah suatu rencana untuk mendirikan suatu pilot project dan finishing centre dari hasil kerajinan tangan penduduk sekitar Indihiang, dengan maksud memberi dorongan pada pengembangan jenis anyaman bambu halus, baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif.

Semula ada dua tempat yang dicalonkan sebagai tempat mendirikan usaha ini, ialah Indihiang untuk jenis anyaman bambu halus dan setengah halus, sedangkan Singaparna untuk jenis anyaman bambu kasar. Setelah diadakan penelitian, pemerintah menunjuk Indihiang sebagai tempat pilot projrct dan finishing centre dengan pertimbangan bahwa di Indihiang banyak terdapat bahan baku berupa pohon bambu tali, banyak tenaga perajin yang sudah terlatih dan tempatnya strategis. Indihiang terletak di jalan lintas Bandung dan kota Tasikmalaya (lewat Ciawi) sehingga memudahkan pengangkutan. Mesin pengolah bambu didatangkan dari Jepang, salah satu negara yang telah maju dalam usaha pengolahan bambu, seharga US $ 30.000.000. Proyek ini dikenal dengan sebutan ”Bamboo processing”.

”Bamboo processing” mulai bekerja pada tanggal 19 Agustus 1962. Bangunannya terletak di jalan Ciawi. Mesin-mesin yang digunakan ialah mesin pemotong, mesin pembelah, mesin peraut dan mesin penganyam. Menurut rencana diharapkan mesin-mesin tersebut dapat memproduksi sebanyak 159.000 potong anyaman bambu halus dalam satu tahun.

Akan tetapi, kemudian ternyata bahwa ”Bamboo processing” hanya dapat berjalan sebentar saja. Hasilnya diluar dugaan semula dan meleset dari yang direncanakan. Penulis seniri menyaksikan, bahwa serutan yang dihasilkannya masih kasar tidak bisa sehalus yang dihasilkan oleh tangan, sehingga tidak bisa dipakai untuk anyaman bambu halus. Juga pembuatan anyaman kasar masih kalah cepat dengan yang dikerjakan oleh tangan. , di samping itu hasilnya juga kurang rapih. Karena kurangnya sosialisai kepada penduduk di sekitar proyek ini, maka penduduk tidak menganggap usaha ini sebagai usaha untuk membantu mereka, bahkan sebaliknya mereka menganggap usaha ini sebagai saingan.

Akhirnya proyek ”Bamboo processing” tidak dilanjutkan. Namun demikian, tanpa ”Bamboo processing” , dengan adanya perhatian dari pemerintah daerah berupa penyuluhan, pelatihan dan bantuan permodalan melalui Koperasi Usaha Kecil dan Menengah (KUKM), industri bambu halus terus berkembang. Saat ini anyaman bambu halus merupakan salah satu produk unggulan dari Tasikmalaya di samping produk bordir, batik, payung kertas, tikar mendong, kelom geulis dan topi pandan.

————

Sumber : http://tasikgandsakri.wordpress.com/2010/06/20/anyaman-bambu-halus/
Penulis* : Gandjar Sakri
Bila Anda tertarik dan menginginkan tulisan lengkapnya, dapat menghubungi Redaksi Jurnal Dimensi, FSRD Univ. Trisakti, Kampus A Gd.P Lt.2, Jl. Kyai Tapa No.1. Grogol Jakarta. 11440. Telp. 5663232, Pes. 8254-8255. Fax. 5636713.
e-mail: ganalrudi@yahoo.com atau astuti_espe@yahoo.co.id

No comments:

Post a Comment

linkwithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...